Agnes Davonar
FIANZONER bangga dengan semangat dan perjuangan Agnes Davonar (novelis bersaudara) yang tentu saja menjadi pemacu bagi kita untuk terus berjuang dan berkarya dalam keadaan apapun. Sumber terkait bisa Anda dapatkan di http://fajar-aryanto.blogspot.com/2010/04/agnes-davonar-novelis.html atau langsung meluncur ke http://lieagneshendra.blog.friendster.com/ . Selamat membaca...
Kanker Sebagai Cobaan dan Kesuksesan
Sempat bersembunyi di balik nama Agnes Davonar, sosok penulis novel best seller ini pun lantas muncul di depan para penggemarnya. Banyak orang menyangka bahwa Agnes Davonar adalah nama dari satu orang penulis, tapi ternyata merupakan gabungan dua orang kakak beradik yang menyatukan ide dalam tulisan. Hingga saat ini, novel bertajuk ‘Surat Kecil Untuk Tuhan’ telah mampu menarik perhatian para pencinta novel tak hanya dalam negeri saja, tapi juga di luar negeri. Lalu bagaimana kisah kakak beradik yang semasa kecilnya hidup dalam keterbatasan ini?
Tuhan…
Andai aku bisa kembali…
Aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini…
Tuhan…
Andai aku bisa kembali…
Aku tidak ingin ada hal yang sama terjadi padaku terjadi pada siapapun…
Tuhan…
Bolehkah aku menulis surat kecil untukMu Tuhan…
(diambil dari Surat Kecil Untuk Tuhan, karya Agnes Davonar)
Tulisan yang diambil dari novel keduanya tersebut sempat membuat para pembacanya terhanyut dalam kesedihan. Novel yang diangkat dari sebuah kisah nyata anak yang terkena kanker itu kemudian laris di pasaran bak kacang goreng. Nama Agnes Davonar sebagai penulisnya lantas mulai dikenal orang sebagai novelis yang cukup diperhitungkan. Ternyata perjalanan hidup sang penulis tak jauh berbeda dengan kisah sedih yang ditulisnya itu. Tak jarang pula, pertolongan Tuhan muncul di sepanjang hidup yang mereka jalani.
Kakak Beradik. Ditemui di salah satu kafe di sebuah mal di Jakarta Barat beberapa waktu lalu, kedua kakak beradik yang mengusung nama Agnes Davonar nampak sumringah saat bertemu dengan Realita.
Agnes Davonar merupakan gabungan nama antara kakak beradik yang lahir dari sebuah keluarga dengan kondisi berkecukupan pada awalnya. Sang kakak, Agnes Li terlahir pada 7 Oktober 1986. Sedangkan adiknya, Teddy Li lahir pada 8 Oktober 1989. Keduanya merupakan anak dari pasangan mendiang Ng Bui Cui dan Bong Nien Chin (56). Sang ayah berprofesi sebagai seniman pembuat tulisan kaligrafi Cina. Sedangkan ibunya kerap membantu penghasilan keluarga dengan membuat berbagai macam kue penganan kecil.
Ng Bui Cui sebenarnya berasal dari Taiwan dan hijrah ke Indonesia pada tahun 1980-an. Di Kalimantan, tepatnya di daerah Singkawang, ia bertemu dengan wanita yang kemudian dinikahinya. Lahirlah anak sulung, Angel Li pada tahun 1984. Dua tahun kemudian, Agnes pun lahir ke dunia di Pontianak. Saat Agnes duduk di bangku kelas 1 SD, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai kehidupan baru sambil sang ayah kembali menjual tulisan kaligrafi Cina buatannya. Barulah pada tahun 1989, Teddy Li lahir di Jakarta. Awalnya, kehidupan keluarga disokong oleh pekerjaan sang ayah menjual kaligrafi Cina. Agnes sendiri mengenyam pendidikan SD hingga SMA di Pelita, Jakarta Barat. Setelah lulus SMA, Agnes kemudian memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Universitas Bina Nusantara, Jurusan Sastra Mandarin. Sedangkan Teddy yang usianya lebih muda tiga tahun, menempuh pendidikan di SD Pelita. Selepas menamatkan pendidikan SD-nya, Teddy melanjutkan ke SMP dan SMA Bhinneka, Jakarta.
Kanker Merenggut Ayahnya. Kondisi keuangan keluarga yang awalnya tercukupi dengan penghasilan sang ayah, lantas berubah drastis. “Ayah kita sebenarnya sudah mulai sakit-sakitan,” aku Teddy, sang adik. Namun, sang ayah sendiri tak pernah menunjukkan tubuhnya yang sakit kepada keluarganya. Hingga akhirnya tahun 2002, sang ayah divonis menderita penyakit kanker paru-paru yang sudah kronis.
Seiring berjalannya waktu, kondisi tubuh Ng Bui Cui tak mengalami perbaikan. Sebaliknya, ia justru semakin tak berdaya melawan penyakit kanker yang terus menggerogoti tubuhnya. Namun, pihak keluarga justru tak menyangka sebelumnya lantaran sang ayah yang selalu memperlihatkan tubuhnya seakan-akan masih sehat. Mereka justru yakin kondisi tubuh ayahnya akan mencapai kesembuhan. Kenyataan justru berkata lain, selang tiga bulan setelah divonis, nyawa sang ayah akhirnya menyerah terhadap penyakitnya yang semakin mengganas.
Selain menyisakan kepedihan yang teramat dalam, kepergian sang ayah juga cukup menggoyahkan keuangan keluarga. Sang tulang punggung keluarga tak lagi ada di sisi mereka. Istri yang sekaligus ibu dari Agnes dan Teddy pun memutar otaknya untuk menghidupi ketiga anaknya. Keahlian membuat tulisan kaligrafi Cina tak menurun kepada ketiga anaknya. Sehingga, ketiga anaknya tersebut tak mampu melanjutkan bisnis mendiang sang ayah.
Menjajakan Kue. Alhasil, ibunya lantas berusaha menghidupi ketiga anaknya dengan menjajakan kue penganan kecil buatannya. “Dulu, pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, kita sudah terbiasa mengantarkan kue,” kenang Agnes. Kebiasaan itu terpaksa dijalani agar mereka dapat hidup sepeninggal sang ayah. Kondisi keuangan yang semakin goyah ternyata harus berakibat buruk pada pendidikan Agnes. “Saya berhenti kuliah ketika semester 2,” aku Agnes. Ketiadaan biaya untuk membayar kuliah yang cukup mahal menjadi alasan utama Agnes keluar dari kuliahnya. Berhenti kuliah memang membuat Agnes tak kuasa menahan rasa sedihnya. Namun, tak ada lagi sisa uang yang dapat dipergunakan untuk membayar kuliah di Universitas Bina Nusantara. Demi berputarnya roda kehidupan keluarga, lambat laun Agnes mampu menerima kenyataan tersebut. Ketiga kakak beradik, Angel, Agnes dan Teddy lantas bertekad untuk mencari penghasilan demi membantu kehidupan keluarga. Begitu pula yang dilakukan oleh ibu mereka dengan memutuskan menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Taiwan. Merasa kebutuhan keluarga tak tercukupi dengan hanya menjual penganan kecil, sang ibu akhirnya merelakan tak bertemu dengan ketiga anaknya untuk bekerja di negeri seberang. Di Taiwan, sang ibu bekerja sebagai seorang perawat dari seorang kakek renta. Penghasilannya dapat mencukupi kehidupan ketiga anaknya yang ditinggal di Jakarta. Sejak akhir tahun 2002 hingga 2005, sang ibu merantau di Taiwan.
Setiap bulan, sang ibu selalu mengirimkan hasil kerja payahnya di Taiwan. Di Jakarta sendiri, Agnes yang sudah putus kuliah lantas berusaha mencari pekerjaan. Teddy yang masih duduk di bangku SMA pun melakukan hal yang sama. Meski, keahlian menulis petuah dalam kaligrafi Cina tak dimiliki Agnes dan Teddy, kepiawaian seni menulis ternyata telah menjadi bakat terpendam kedua kakak beradik ini. Terlebih lagi, selepas sang ayah meninggal. “Meninggalnya ayah menjadi inspirasi tersendiri bagi kita untuk menulis,” ungkap Teddy yang diiyakan Agnes. Awalnya, Agnes dan Teddy menulis novel dan berusaha menawarkan ke berbagai penerbit agar mendapatkan penghasilan tambahan guna membantu penghidupan keluarga. Tapi, dari sekian kali menawarkan hasil tulisan, seluruhnya ditolak oleh pihak penerbit. Kegagalan demi kegagalan selalu menjadi ujung yang mengecewakan bagi keduanya. “Ternyata menulis untuk mendapatkan uang itu adalah kesalahan terbesar kita,” ungkap Teddy. Mereka pun mulai mengubah tujuannya menulis. Pertengahan tahun 2007, Agnes dan Teddy mulai menulis di internet melalui blog Friendster yang mereka buat sendiri.
Tulisan novel atau cerita yang dimasukkan ke dalam blog, diakui Teddy merupakan hasil pengalaman kehidupan pribadi dan orang lain. Dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang, puluhan cerita diposting ke blog. Seiring makin banyaknya tulisan yang mereka masukkan ke dalam blog, semakin banyak pula orang yang membaca hasil tulisan keduanya. “Dalam waktu 6 bulan, kita sudah menghasilkan 12 cerpen dan 1 novel online,” aku Teddy. Sejak awal, Agnes dan Teddy sepakat untuk mengusung nama Agnes Davonar sebagai nama gabungan keduanya. Titik ledak ketenaran Agnes Davonar terjadi saat menelurkan novel online kontroversial yang menceritakan kisah sebuah lagu yang dibuat oleh sosok gadis bernama Geby yang bunuh diri karena patah hati. “Itu novel kita yang paling fenomenal,” ujar Agnes. Kanker Menjadi Best Seller. Nama Agnes tentunya diambil dari nama Agnes sendiri. Sedangkan Davonar sebagai identitas nama bagi Teddy diambil dari nama seseorang yang pernah memiliki kedekatan dengan kedua kakak beradik ini. Bahkan blog Friendster milik Agnes Davonar mampu menyabet peringkat pertama yang paling banyak dikunjungi orang dari sebuah web top100.com. Cerita yang menarik dengan gaya penulisan khas anak muda sudah menjadi ciri khas karya Agnes Davonar. Nama Agnes Davonar menjadi bahan perbincangan di forum-forum dunia maya. Ketenaran lantas mulai diraihnya setelah menerbitkan novel keduanya bertajuk ‘Surat Kecil Untuk Tuhan’ pada pertengahan tahun 2008. Novel yang diangkat dari kisah nyata seorang anak bernama Keke yang telah meninggal akibat penyakit kanker tersebut telah menjadi best seller tak hanya di dalam negeri saja. Di Taiwan, novel itu laris di pasaran. Awalnya kisah Surat Kecil Untuk Tuhan ditulis di dalam blog Agnes Davonar. Banyak pembaca blognya yang memuji cerita tersebut. Alhasil, cerita itu dibuat dalam bentuk buku. Seperti halnya di blog yang mengundang banyak pembaca, novelnya pun laris di pasaran. Terlebih lagi, setelah tampil di sebuah acara talkshow di salah satu televisi swasta. Saat menulis novel perdananya tersebut, Agnes dan Teddy tak jarang menitikkan air mata karena kesedihan yang sangat tergambar jelas dari kisah nyata itu. Apalagi, kanker juga pernah merenggut sang ayah, yang sangat mereka cintai.
Bagi Agnes dan Teddy, inspirasi yang datang dari meninggalnya sang ayah karena kanker telah menjadi inspirasi dan motivasi yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan yang mulai diraihnya saat ini. Tak hanya itu saja, perjalanan hidup yang sempat menghantarkan Agnes dan Teddy dalam sebuah kondisi yang kekurangan dan kemudian diubah menjadi kehidupan yang sangat mencukupi, merupakan sebuah mukjizat dari Tuhan. Mereka tak pernah membayangkan hanya dalam waktu tak lebih dari dua tahun dapat mengeluarkan dua novel yang sukses dalam hal tingkat penjualan.
Seandainya, sang ayah masih ada dan melihat hasil karya kedua anaknya, Agnes dan Teddy akan sangat bahagia karena telah membanggakan ayahnya. Namun, keduanya patut bersyukur dengan apa yang didapat dengan cara menghasilkan karya yang berkualitas bagi masyarakat. “Tahun ini, kita akan meluncurkan tiga buku lagi,” ujar Teddy. “Kita juga berencana akan membuat skenario film,” ungkap Agnes menambahkan.