Wednesday, June 9, 2010

Mengapa Orang Indonesia Malas Membaca

 Mengapa Orang Indonesia Malas Membaca


Tentu saja Andrea harus gembira, karena sangat jarang di Indonesia, ada buku yang bisa laris terjual hingga ratusan ribu eksemplar.

Tetapi mari bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah berada di atas 200 juta jiwa. Angka 700 ribu, belumlah mencapai lima persen dari keseluruhan populasi. Itu artinya, sangat sedikit sebenarnya, orang Indonesia yang membaca dan membeli novel-novel laris karya Andrea Hirata. Dan, jauh lebih sedikit lagi, jumlah orang Indonesia yang membaca novel-novel karya para pengarang lainnya. Padahal untuk membaca novel, orang tidak perlu berpikir keras. Ikuti saja alur ceritanya, sambil menikmati ungkapan-ungkapan kalimat yang disajikan sang pengarang.

Lantas, kalau karya-karya fiksi saja tidak begitu banyak yang mau membacanya, bagaimana dengan karya-karya nonfiksi yang membuat pembacanya harus mengerutkan dahi? Atau, tengok saja oplah surat kabar di Indonesia. Kompas, surat kabar harian terkemuka itu, oplahnya “hanya” 530 ribu eksemplar, dan jumlah tiras ini nyaris stagnan sejak 2004.

Data-data ini menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia di era globalisasi ini, terbukti masih sangat minim. Jangan bilang hal itu terjadi karena harga-harga buku dan koran masih mahal. Sebab jika diukur dari pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, yang kini mencapai 1.946 dolar Amerika, atau sekitar 21.500 rupiah per hari, harga buku yang berkisar antara 50-100 ribu rupiah per buah, sebenarnya tergolong murah.

Membeli buku tentunya tidak perlu setiap hari. Satu judul buku per bulan saja, sudah sangat memadai untuk menambah wawasan. Apalagi koran yang harganya paling mahal 3.500 rupiah per eksemplar. Mestinya, setiap hari, setiap keluarga di Indonesia minimal bisa membeli sebuah surat kabar. Karena untuk membeli sebungkus rokok yang rata-rata berharga 10 ribu rupiah saja, mereka mampu.
Kalau sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap tidak mampu membeli buku dan koran, dengan asumsi hampir 50% penduduk Indonesia masih tergolong miskin, tentunya masih ada orang-orang kaya yang mampu untuk itu. Kita asumsikan saja, ada sekitar 10 persen atau 20 juta penduduk Indonesia yang tergolong mampu. Jika separuhnya saja dari orang-orang kaya ini membeli buku, berarti akan ada buku yang yang bisa terjual hingga 10 juta eksemplar. Atau, setidaknya 5 juta eksemplar. Atau setidaknya lagi satu juta eksemplar. Kenyataannya, tak ada buku yang mampu mencapai tiras penjualan hingga satu juta eksemplar. Begitu pula surat kabar.

Membaca Belum Menjadi Kebutuhan?

Tampaknya belum. Karena sebagian besar rakyat Indonesia, masih berkutat memenuhi hajat hidupnya yang paling utama, yakni pangan dan sandang. Belum lagi kebutuhannya untuk memperoleh tempat berteduh alias rumah, dan membiayai pendidikan anak-anaknya, yang wow … selangit mahalnya. Itu, bagi yang kurang mampu. Sementara di kalangan masyarakat yang lebih mampu, membeli barang-barang konsumtif (yang bukan merupakan kebutuhan pokok) agaknya lebih dianggap penting ketimbang membeli buku. Lihat saja pasar telepon selular di Indonesia, yang setiap harinya terjual rata-rata delapan ribu unit, atau hampir tiga juta unit per tahun. Padahal harga handphone termurah berkisar 200-300 ribu rupiah per unit. Jauh lebih mahal dibandingkan harga buku.

Itulah Indonesia, yang menurut beberapa ahli, mengalami loncatan budaya, dari budaya bertutur ke budaya menonton. Tanpa melalui budaya membaca terlebih dulu. Ini bisa dilihat dari angka penjualan pesawat televisi yang rata-rata mencapai 300 ribu unit per bulan, atau enam juta unit per tahun. Sementara harga pesawat TV, paling murah 500 ribu rupiah per unit.

Pertanyaannya sekarang, adakah buku yang mencapai tiras penjualan 3-6 juta eksemplar per tahun, seperti pesawat handphone dan TV? Andrea Hirata saja harus menunggu beberapa tahun, untuk mencapai tiras 700 ribu eksemplar. Tetapi ketika Laskar Pelangi difilmkan, jumlah penontonnya bisa membludak hingga empat juta orang, hanya dalam waktu satu setengah bulan (www.tempointeraktif.com, 14 November 2008).

Kesimpulannya? Orang Indonesia umumnya memang malas membaca. Orang Indonesia lebih suka menonton bioskop dan televisi ketimbang membaca buku atau koran. Orang Indonesia lebih gemar membeli handphone daripada membeli buku dan sumber bacaan lainnya. Jadi, kalau usaha penerbitan dan penjualan buku hingga kini masih tertatih-tatih, jangan salahkan harganya. Jangan salahkan pula kemiskinan.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Entahlah. Wong di era globalisasi ini, ternyata masih ada orang Indonesia yang buta huruf. Jumlahnya cukup signifikan, 10,16 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas, masih buta aksara. Data ini disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo pada Hari Aksara Internasional bulan September 2008. Nah, bagaimana mungkin meminta mereka membeli buku, bila mengenali aksara saja belum bisa. Kalau begitu, Anda pasti bilang yang salah itu adalah sistem pendidikan di Indonesia. Tapi jangan salahkan Mendiknas sekarang, karena Pak Bambang Sudibyo itu baru beberapa tahun saja jadi Mendiknas. Nanti, kalau Mendiknas-nya sudah berganti, jangan pula berharap keadaan akan berubah. Ha ha ha …

Penulis : Billy Soemawisastra
Sumber : http://jagatalun.com/category/gaya-hidup/

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...