Suatu saat ada siswa bertanya, mengapa harus ada pelajaran matematika di sekolah?
Melihat dari mimik mukanya dan mendengar nadanya bertanya, saya lebih cenderung untuk menyatakan, bahwa siswa tersebut bertanya karena kesal, daripada benar-benar ingin tahu sebabnya mengapa.
Dia kesal karena pelajaran matematika baginya dirasakan lebih banyak menyusahkannya daripada menyenangkannya. Pelajarannya susah dimengerti, PR nya susah dikerjakan, lagipula banyak jumlahnya. Belum lagi bapak-ibu guru sering memasang wajah 'seram' dengan harapan dapat lebih berwibawa (?). Dia juga rupanya tidak tahu apa gunanya belajar matematika itu. Pokoknya dia merasa sama sekali tidak tertarik dan tidak butuh akan pelajaran tersebut.
Memang dari dulu sampai sekarang pelajaran matematika umumnya dijauhi dan dihindari anak-anak. Mengapa? Mungkin beda pandangan terhadap pelajaran tersebut antara orang tua, siswa dan guru sehingga menimbulkan perbedaan motivasi dari ketiganya.
Orang tua yang menganggap matematika itu memang pelajaran yang susah, apalagi mengingat sejak dari dia masih bersekolah dulu, tidak pernah mendapat nilai yang baik, merasa tidak perlu mendorong putra putrinya untuk mempelajarinya lebih baik lagi, apalagi melihat nilai putra putrinya ternyata sudah jauh lebih baik dari dirinya sendiri.
Mungkin pula sebaliknya, justru dulu dia tidak bisa, sekarang anak-anaknya harus bisa. Bahkan sedemikian pentingnya matematika itu, sehingga dia memberi dorongan yang berlebihan. Yang penting harus jadi juara. Mula-mula juara kelas, lama lama juara dunia. Sehingga dengan tidak disadari, dia lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan sang anak. Apalagi untuk ingat apakah anaknya itu suka atau tidak terhadap matematika, bahagia atau tidak karenanya, itu tidak penting, sebab seringkali orang tua beranggapan sebagai seorang anak yang baik harus menurut saja apa kata orang tuanya.
Mungkin juga disebabkan oleh guru yang sedemikian terobsesi dengan matematika, sehingga terjebak dalam perolehan angka anak-anak dalam setiap tes yang diberikannya, tidak peduli anak memahami atau tidak, yang penting 'dapat' mengerjakan tes dengan hasil yang bagus, sekalipun dengan jalan tidak jujur. Atau mungkin juga ada rekan guru yang terjebak pemikiran bahwa kita bisa mengajarkan apa saja, kepada anak umur berapa saja asal dengan cerdik.
Kebanyakan guru berhenti mengajar sebatas semua bahan telah selesai diajarkan, dan bukan sebatas sampai anak bisa. Paling jauh sebatas sampai anak mengerti.
Melihat dari mimik mukanya dan mendengar nadanya bertanya, saya lebih cenderung untuk menyatakan, bahwa siswa tersebut bertanya karena kesal, daripada benar-benar ingin tahu sebabnya mengapa.
Dia kesal karena pelajaran matematika baginya dirasakan lebih banyak menyusahkannya daripada menyenangkannya. Pelajarannya susah dimengerti, PR nya susah dikerjakan, lagipula banyak jumlahnya. Belum lagi bapak-ibu guru sering memasang wajah 'seram' dengan harapan dapat lebih berwibawa (?). Dia juga rupanya tidak tahu apa gunanya belajar matematika itu. Pokoknya dia merasa sama sekali tidak tertarik dan tidak butuh akan pelajaran tersebut.
Memang dari dulu sampai sekarang pelajaran matematika umumnya dijauhi dan dihindari anak-anak. Mengapa? Mungkin beda pandangan terhadap pelajaran tersebut antara orang tua, siswa dan guru sehingga menimbulkan perbedaan motivasi dari ketiganya.
Orang tua yang menganggap matematika itu memang pelajaran yang susah, apalagi mengingat sejak dari dia masih bersekolah dulu, tidak pernah mendapat nilai yang baik, merasa tidak perlu mendorong putra putrinya untuk mempelajarinya lebih baik lagi, apalagi melihat nilai putra putrinya ternyata sudah jauh lebih baik dari dirinya sendiri.
Mungkin pula sebaliknya, justru dulu dia tidak bisa, sekarang anak-anaknya harus bisa. Bahkan sedemikian pentingnya matematika itu, sehingga dia memberi dorongan yang berlebihan. Yang penting harus jadi juara. Mula-mula juara kelas, lama lama juara dunia. Sehingga dengan tidak disadari, dia lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan sang anak. Apalagi untuk ingat apakah anaknya itu suka atau tidak terhadap matematika, bahagia atau tidak karenanya, itu tidak penting, sebab seringkali orang tua beranggapan sebagai seorang anak yang baik harus menurut saja apa kata orang tuanya.
Mungkin juga disebabkan oleh guru yang sedemikian terobsesi dengan matematika, sehingga terjebak dalam perolehan angka anak-anak dalam setiap tes yang diberikannya, tidak peduli anak memahami atau tidak, yang penting 'dapat' mengerjakan tes dengan hasil yang bagus, sekalipun dengan jalan tidak jujur. Atau mungkin juga ada rekan guru yang terjebak pemikiran bahwa kita bisa mengajarkan apa saja, kepada anak umur berapa saja asal dengan cerdik.
Kebanyakan guru berhenti mengajar sebatas semua bahan telah selesai diajarkan, dan bukan sebatas sampai anak bisa. Paling jauh sebatas sampai anak mengerti.
Untuk dapat sampai pada batas 'anak bisa', banyak sekali yang harus diusahakan dan dikerjakan, bahkan guru harus merelakan sisa waktunya untuk melengkapi, mengulang, menjelaskan sekali lagi dengan cara yang berbeda, bukan saja berbeda dengan cara yang baru saja diterangkan, tetapi berbeda untuk anak yang satu dengan lainnya, di luar jam sekolah.
Dan juga berusaha untuk mengetahui apa, bagaimana, mengapa dan pada bagian mana anak tersebut 'tidak bisa', agar tepat sasaran dan tidak buang waktu. Untuk itu semuanya, jelas guru tidak bisa atau tidak mau melaksanakannya karena tidak ada waktunya. Karena menurut pepatah: "Time is Money", maka tidak ada waktunya bisa diganti jadi tidak ada duitnya. Bukankah lebih santun mengatakan, maaf tidak ada waktunya, daripada maaf, tidak ada duitnya (?!).
Mungkin juga disebabkan karena anaknya sendiri yang tidak menyukai pelajaran tersebut. Atau mungkin pula pada mulanya dia termotivasi untuk mempelajarinya, namun lama kelamaan menjadi tumpul atau ditumpulkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh saudara-saudaranya yang lebih tua atau kakak-kakak kelasnya di sekolah yang menyatakan matematika itu makin lama akan makin sulit dan itu pasti akan menyengsarakannya.
Mungkin juga karena sudah sedemikian jauh mempelajari matematika, masih belum tahu apa gunanya, seolah-olah matematika itu jauh sekali dari kehidupannya sehari-hari.
Sebetulnya masih banyak lagi sebab untuk itu, seperti misalnya guru kurang mempersiapkan diri dengan baik, beban pengajaran yang tidak merata, pertahapan penyajian materi yang kurang benar, kurikulum yang meragukan, dan sebagainya. Mungkin pula bapak-ibu guru terlalu cepat memberikan penilaian buruk terhadap jawaban anak-anak, sehingga anak-anak terdorong untuk mencari jawaban benar menurut bapak-ibu guru dari pada benar menurut dirinya sendiri.
Lama kelamaan anak-anak pun tidak berani dan tidak mau angkat tangan lagi menjawab pertanyaan guru.
Kalau saja dari sejak mula pertama anak diperkenalkan dengan matematika dengan biasa-biasa saja, tidak ditakut-takuti, lebih baik lagi kalau kesan pertamanya mudah dan menyenangkan, saya yakin semua kemelut tentang matematika tidak akan ada, atau setidaknya mudah diatasi.
Bagaimana pendapat Anda ?
Sumber: Facebook Renungan Seorang Guru
No comments:
Post a Comment